Selasa, 15 April 2014

Naik Angkot Menguntungkan?

Suatu pagi seperti biasa aku menjalani hariku sebagai seorang mahasiswa ITB. Sebuah rutinitas yang biasa aku jalani seperti hari-hari sebelumnya, pergi dari kosan --> jalan ke tempat angkot --> naik angkot --> turun angkot --> jalan dikit ke kampus.

Namun pada hari Jum'at, 11 April 2014 sebuah pikiran terbesit di kepalaku.

"Hmm... selama ini aku naik angkot sekali jalan bayar 2000 rupiah, pulang pergi jadi 4000 rupiah. Seandainya aku punya motor dan aku bawa ke Bandung kira-kira mana yang lebih menguntungkan?"

Yup, sebuah pertanyaan muncul di pikiranku. Apakah naik angkot itu menguntungkan jika dibandingkan naik motor?
Berawal dari keisengan aku mulai mencari  berbagai data primer dan sekunder terkait pertanyaan ini. Mari berbicara dengan data. :)

Data Tarif Angkot Cisitu-Tegalega sekali jalan (Cisitu-ITB / ITB-Cisitu) : Rp 2.000
Data Harga Premium : Rp 7.000 / liter
Konsumsi Premium Supra X 125 pgm fi : 65,38 km / liter (sumber : http://apriantoblog.wordpress.com/2012/04/02/hasil-konsumsi-bbm-jenis-premium-pada-supra-x-125-pgm-fi/)
Jarak Cisitu-ITB : 2,6 km (sumber : googlemap. hehe. :D)
Ganti Oli Rutin : Rp 50.000 / 3 bulan (info dari teman pemakai motor)
Biaya Paket Motor : Rp 500.000
Biaya Parkir : Rp 1.000

Okay, data awal di atas dirasa sudah cukup (mudah-mudahan hehe) maka mari melakukan hitung-hitungan.

Angkot  :
Biaya angkot per hari : Rp 2.000 x 2 = Rp 4.000 (pulang pergi jadi 2 kali)
Biaya angkot per tahun : Rp 4.000 x 30 x 12 = Rp 1.440.000
Biaya angkot 4 tahun (selama kuliah) : Rp 1.440.000 x 4 = Rp 5.760.000

Motor :
Operasional = Biaya Premium + Biaya Servis + Biaya Parkir
Biaya premium per bulan = Rp 7.000 x 2 x 2,6 x 30 / 65.38 = Rp 16.702,36
Biaya premium per tahun = Rp 16.702,36 x 12 = Rp 200.428,27
Biaya servis per tahun = Rp 50.000 x 4 = Rp 200.000,00
Biaya parkir per tahun = Rp 1.000 x 30 x 12 = Rp 360.000
Operasional per tahun = Rp 200.428,27 + Rp 200.000,00 + Rp 360.000,00 = Rp 760.428,27
Operasional 4 tahun (selama kuliah) = Rp 760.428,27 x 4 = Rp 3.041.713,06
Total Biaya 4 tahun = Paket Motor + Operasional = Rp 500.000 + Rp 3.041.713,06 = Rp 3.541.713,06

Dari hasil di atas didapatkan selisih biaya selama 4 tahun :
Rp 5.760.000 - Rp 3.041.713,06 = Rp 2.218.286,94

Angka yang cukup menarik, dengan menggunakan motor yang aku punya di Bandung maka aku memiliki kesempatan untuk menghemat lebih dari 2 Juta pengeluaranku selama 4 tahun berkuliah di ITB.

Naik Angkot Menguntungkan? Bisa iya bisa tidak tapi seperti inilah faktanya. Ini hanya sebuah pikiran random dari seorang Wiku Larutama

Welcome to My World :)

Selasa, 25 Maret 2014

Manusia dan Mimpi

“Aku bermimpi untuk menjadi … .”
“Aku bermimpi kelak akan … .”
“Aku akan terus mengejar mimpiku untuk … .”

Apakah sebenarnya mimpi itu? Bagiku mimpi merupakan sebuah angan-angan. Dan hanya tetap menjadi angan-anagn ketika sang pemilik mimpi tidak berusaha mewujudkannya.
Banyak orang sering berbicara tentang mimpi, bahkan mimpi hampir menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari diri seorang manusia.

“Impian itu seperti sayap. Dia membawamu pergi ke berbagai tempat. Kurasa, mamamu sadar akan hal itu. Dia tahu, kalau dia mencegah mimpimu, itu sama aja dengan memotong sayap burung. Burung tersebut memang nggak akan lari, tapi burung tanpa sayap sudah bukan burung lagi. Dan manusia tanpa mimpi, sudah bukan manusia lagi.”
― Windhy Puspitadewi, Let Go

Bagiku mimpi itu sangat dekat, tapi terkadang kita lupa untuk mewujudkannya.

Setiap orang memiliki hak untuk bermimpi entah seperti apakah mimpi tersebut. Tidak ada kata besar ataupun kecil ketika kita berbicara tentang mimpi. Manusia itu unik begitu pula dengan mimpi-mimpinya. Tidak ada yang salah ketika kita sebagai manusia bermimpi. Tidak ada yang salah ketika aku bermimpi untuk mendapatkan nilai 80 ketika ujian. Tidak ada yang salah ketika aku bermimpi untuk bergerak untuk membangun Indonesia. Tidak ada yang salah juga ketika aku bermimpi agar kelak menemukan pendamping hidup yang baik. (Sah-sah saja kan hehe)

Kita bisa bermimpi tapi terkadang kita lupa untuk mewujudkannya. Sejujurnya hal itu pula yang sering aku alami selama aku hidup. Beberapa kali aku bermimpi dan beberapa kali pula aku lupa untuk mewujudkannya. Mudah-mudahan sih lupa yang tidak disengaja bukan lupa karena sengaja dilupakan. Sebenarnya apakah yang menyebabkan mimpi itu lupa untuk diwujudkan? Dari yang selama ini aku rasakan, faktor utama yang menyebabkan mimpi itu lupa untuk diwujudkan adalah karena tidak adanya strategi dalam mencapai hal tersebut dan memang tidak ada niat untuk mewujudkan mimpi tersebut.

Dengan tidak adanya strategi untuk mencapai mimpi tersebut maka akan terjadi sebuah kebingungan untuk menjawab pertanyaan “Sudah di tahap mana sih pencapaian mimpiku?”. Kita tidak bisa mengecek apakah ada kemajuan atau bahkan kemunduran ketika kita tidak melakukan perancangan strategi untuk mencapai mimpi. Hanya mengalir tanpa arah yang jelas dan ketika tersadar ternyata sudah terlambat. Jadi, strategi itu penting untuk mewujudkan mimpi.

Berbicara tentang niat untuk mewujudkan mimpi mari kita awali dengan mencoba menjawab sebuah pertanyaan “Apakah sebenarnya memang mimpi itu adalah mimpiku?”. Jika jawabannya tidak maka wajar saja kan jika kita tidak memiliki niat untuk mewujudkannya. Pertanyakanlah kembali dari mana mimpi-mimpi itu muncul apakah itu dari dalam diri kita atau tidak karena motivasi terkuat sesungguhnya adalah motivasi yang berasal dari dalam diri kita sendiri.

Jika kita sudah cukup banyak bermimpi dan sudah berusaha keras untuk mewujudkannya maka yang tersisa adalah berdoa dan tetap berusaha lebih keras lagi. Sesungguhnya Allah yang mampu mengatur segala hal dalam kehidupan manusia dan yang pasti Allah itu maha adil dan mengetahui mana yang terbaik bagi umatnya. Jadi, tetap percaya saja pada kuasa Allah dan terus berdoa dan berusaha.

Sedikit pemikiran dari seorang Wiku Larutama silakan ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk.

Welcome to my world. :)

Kamis, 20 Maret 2014

Masih Nyamankah Jogjaku?

Berhati Nyaman, sebuah semboyan yang melekat pada kotaku tercinta Yogyakarta atau biasa disebut Jogja. Sebagai seorang anak yang lahir dan besar di Jogja aku sudah cukup banyak melewati berbagai momen di Jogja. Berbagai macam cerita telah banyak mengisi hidupku terkait dengan kota Jogjaku ini. Dapat dibilang bahwa kota Jogja merupakan salah satu kota yang sangat aku cintai, sebuah kota yang sangat nyaman untuk ditinggali dan masih kental akan budaya di kehidupan sehari-harinya.

Banyak cerita aku alami di kota Jogja. Cerita bahagia mengenai indahnya saat-saat bersama keluarga dan beragam rasa unik yang dialami ketika menjalani pendidikan mulai dari SD hingga akhirnya SMA (untuk TK saya lupa bagaimana rasanya hehe). Tidak hanya manisnya pengalaman di kota ini yang aku rasakan tetapi juga rasa pahitnya aku rasakan, saat kota ini diderita bencana gempa dahulu selain itu di kota ini pula aku merasakan sedihnya ditinggalkan oleh salah seorang teman. Manis pahit beragam rasa tapi itulah bagian dari hidupku, hidupku di kota Jogja.

Pada dasarnya segala hal di dunia ini akan memiliki  kecenderungan untuk berubah. Lalu bagaimanakah dengan kota Jogjaku? Apakah Jogja tidak berubah dan begitu-begitu saja? Aku rasa Jogja juga mengalami banyak perubahan hanya saja saat aku lahir hingga aku SMA aku tidak begitu merasakannya karena aku selalu hidup berdampingan dengan perubahan tersebut, perubahan yang ternyata sangat nyata. Terkadang kita memang melupakan hal yang begitu dekat dengan kita, unik ya.:)

16 Juli 2010
Sebuah peristiwa yang menjadi awal dan kelak akan banyak mengubah cara pandang seorang Wiku Larutama terhadap kota Jogja, pengunguman SNMPTN dan tertera tulisan Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung. Peristiwa inilah yang menjadi awal bagiku untuk melakukan perantauan yang tidak terlalu jauh sebenarnya tapi merupakan yang pertama bagiku, menyongsong Bandung sang kota kembang. Beberapa bulan awal masih banyak lah rasa kangen ke kota Jogja maklum anak baru dan sejuurnya aku belum pernah sama sekali menginjakan kaki di Bandung sejak aku TK. Kata orang tuaku sih dulu pernah ke Bandung waktu bayi tapi ya mana aku ingat bagaimana rasanya. Jogja bagiku memang sebuah kota begitu nyaman dan sulit untuk dilupakan tapi perlahan aku mulai menemukan suatu hal bahwa "Aku mulai jatuh cinta, pada Bandung."

Rasa cinta yang mulai tumbuh dan menguat terhadap Bandung membuatku mulai mau untuk memperluas pandanganku tentang Jogja bahwa Jogja tidak selalu indah dan Jogja juga mengalami banyak perubahan. Dalam beberapa kesempatan saat aku pulang ke Jogja perubahan cara pandang itu cukup terbukti, perubahan-perubahan yang dulu tidak dapat aku lihat kini mulai dapat aku lihat saat aku berjalan (dengan sesekali naik angkutan umum pastinya :D) berkeliling Jogja. Mulai banyak bangunan-bangunan tinggi berupa hotel dan mall dibangun dan mulai terjadi kemacetan di beberapa ruas jalan kota Jogja. Wah ternyata Jogja memang banyak mengalami perubahan. Dengan adanya perubahan-perubahan itu mulai muncul rasa khawatir di dalam pikiranku, akankah perubahan ini akan menghilangkan kenyamanan kota ini? Kota ini mulai terlihat menyerupai Bandung dan Jakarta dengan berbagai macam permasalahannya, diawali dengan banyaknya mall dan hotel serta mulai terjadinya mecet di lokasi yang sebelumnya jarang terjadi macet. Rasa cintaku terhadap Jogja masih dalam dan aku masih percaya bahwa kota ini tidak akan kehilangan jati diri, percaya bahwa kota ini akan tetap menjadi kota Jogja yang aku kenal.


Jadi, masih nyamankah Jogjaku? Aku tidak tahu tetapi aku pecaya bahwa Jogja akan tetap menjadi Jogja yang aku kenal